Kurangnya Petugas di Lapas Terbentur Moratorium Penerimaan CPNS

Soal CASN CPNS 2017. Penerimaan CPNS 2017. Perbandingan jumlah petugas pengamanan dengan tahanan atau narapidana di rutan maupun lapas sangat mencolok. Penambahan petugas pun terkendala oleh moratorium penerimaan pegawai oleh pemerintah.

Masalah overkapasitas bukan menjadi satu-satunya pemicu kerap terjadinya kericuhan ataupun tahanan kabur di lapas atau rutan. Direktur Jenderal Pemasyarakatan (PAS) Kemenkumham I Wayan Kusmiantha Dusak menyatakan pihaknya juga kesulitan menambah personel.

“Dirjen PAS harus mengajukan ke Kementerian lewat Sekjen Kemenkumham. Itu harus persetujuan Menpan RB. Sudah 2 tahun moratorium tidak menerima pegawai, sementara tahun ini kita ada 2.000 yang akan pensiun, termasuk saya. Jadi, sudah kurang, akan semakin kurang, dan penghuni makin banyak,” ungkap Dusak saat berbincang dengan detikcom, Jumat (5/5/2017) malam.

Dusak menyebutkan total penghuni lapas dan rutan di Indonesia 216 ribu orang. Dari analisis Ditjen PAS, kekurangan pegawai ada di angka 40 ribu petugas pengamanan untuk lapas dan rutan untuk seluruh wilayah di Indonesia.

Kurangnya Petugas di Lapas Terbentur Moratorium Penerimaan CPNS

Perbandingan jumlah personel pengamanan dengan penghuni lapas juga terjadi di Jakarta, yang notabene merupakan ibu kota negara. Di Lapas Cipinang, kata Dusak, ada 4.000 penghuni, sementara petugas pengamanannya hanya 17 orang. Kemudian di Rutan Salemba, ada 3.000 penghuni dengan petugas hanya 15 orang.

“Makanya sulit untuk mengontrol mereka. Jadi memang perlu ada beberapa perubahan, seperti regulasi, organisasi, sarana-prasarana, dan SDM. Kita juga manajemennya masih seperti dulu zaman Belanda. Sudah berubah, tapi banyak yang perlu dibenahi,” urainya.

Ditjen PAS sebenarnya sudah meminta penambahan pegawai ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan dijanjikan akan mendapat dispensasi penambahan. Namun hingga hampir pertengahan tahun, janji tersebut belum terealisasi.

“Sudah ada kita minta, makanya dijanjikan tahun ini 16 ribu (tambahan pegawai). Tapi itu untuk kebutuhan pemasyarakatan dan Imigrasi. Karena Imigrasi juga butuh banyak. Belum, itu baru janji,” papar Dusak.

Sebenarnya, sudah ada perjanjian kerja sama antara Kemenkumham dan TNI bahwa prajurit yang hendak memasuki masa pensiun akan diperbantukan untuk menjaga lapas. MoU dilakukan oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Panglima TNI, yang saat itu dijabat oleh Jenderal (Purn) Moeldoko, pada tahun 2016. Hanya saja, ternyata MoU itu belum benar-benar terlaksana karena terkendala undang-undang.

“MoU sudah, juga sudah ada perjanjian kerja sama. Tapi terbentur UU, karena yang boleh alih fungsi cuma itu perwira ke atas, padahal yang dibutuhkan bintara ke bawah untuk pengamanan. Kendala di situ,” terang dia.

TNI sendiri, menurut Dusak, sebenarnya sudah banyak memberikan bantuan untuk pihak pemasyarakatan, seperti dalam penanganan kericuhan-kericuhan, salah satunya di Rutan Pekanbaru.

“Kayak di Riau itu, tentara paling depan, kan. Terus di beberapa tempat ada patroli sambang. Itu nanti mereka datang, mengontrol,” sebut Dusak.

Hanya, soal penjagaan lapas-lapas memang belum bisa dilakukan oleh personel TNI karena masalah UU. Berbeda dengan bandara atau stasiun-stasiun, di mana terdapat bantuan dari prajurit-prajurit TNI.

“Di bandara itu, BUMN ada oursourcing, kalau kita nggak ada anggarannya,” katanya.

Ada pendapat yang menyebut, untuk mengurangi overkapasitas, pelaku pidana-pidana ringan tidak perlu dipenjara, namun dihukum dengan sanksi sosial. Dirjen PAS setuju dengan masukan itu karena di beberapa negara maju memang hal tersebut yang dilakukan.

“Ini kan sebenarnya penyelesaian tidak cukup di lapas, harus komprehensif, harus dari sistem hukum juga. Pembinaan tidak harus dipenjara semua. Ada pidana sosial di Amerika Serikat, anak-anak nakal tidak perlu dipenjara, tapi bekerja di peternakan,” ucap Dusak.

“Di Jepang itu ada, kalau mereka pidana ringan, 6 bulan, ditaruh di kapal penangkap ikan di tengah laut. Kan ada kapal pengalengan ikan. Tiga bulan sekali baru mendarat. Banyak yang bisa kita lakukan, tapi kan tidak hanya bisa Kemenkumham,” tambah dia.

Namun, untuk bisa seperti itu, Dusak mengatakan perlu ada perubahan regulasi pada sistem hukum di Indonesia, dalam hal ini perubahan di KUHP. Dia mengatakan pendapat ahli menyebut sanksi sosial di Jepang ternyata lebih efektif dilakukan bagi pelaku pidana ringan dibanding hukuman penjara.

“Misalnya ada yang mencuri di kampungnya, dia tidak boleh belanja di warung yang ada di kampung situ. Jadi, kalau dia belanja di warung kampung lain, bisa jadi karena dia ada masalah. Sama dengan di Bali, ada hukum adatnya,” pungkas Dusak.  (elz/tor)

Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3493862/kurangnya-petugas-di-lapas-terbentur-moratorium-penerimaan-pns